Kamis, 07 Juni 2012

Kontroversi terhadap eksistensi dan pelaksanaan UN

Mukarrom  /  at  22.30  /  No comments


Hasil UN untuk sekolah tingkat SMA/MA dan SMK telah di umumkan. Hasilnya cukup memuaskan jika ditinjau dari aspek statistik (persentasi dan angka). Hal ini juga merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang membagi porsi 40% kepada pihak sekolah untuk turut menentukan kelulusan siswanya.
 

Tetapi kontroversi terhadap eksistensi dan pelaksanaan ujian nasional belum usai bahkan nampaknya akan terus berlanjut akibat belum adanya titik temu yang disepakati sebagai bentuk penyelesaian atas silang pendapat itu. Kalau dicermati, mereka yang pro atas UN adalah para pengambil kebijakan pada jajaran dinas pendidikan nasional dari pusat hingga ke daerah-daerah atau yang di sebut dengan decision makers. Sedangkan yang kontra adalah mereka kalangan praktisi pendidikan dan sebagian dari kalangan orang tua siswa. Mereka dengan penuh kecemasan menanti saat-saat pelaksanaan UN sampai pada detik-detik pengumuman kelulusan.Yang tak kalah agresif dalam menentang UN adalah para siswa itu sendiri karena merekalah yang menjadi obyek. Merekalah yang menjadi sasaran penerapan UN yang segala akibatnya berdampak kepada mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.  



Karena cemas dengan adanya UN, maka  banyak pelaksanaan UN diwarnai dengan berbagai macam indikasi praktek kecurangan dan tindakan melawan hukum membuat sebagian mereka meminta agar UN dapat ditinjau ulang eksistensinya. Praktek kecurangan itu misalnya adanya dugaan bantuan jawaban dari guru atau pengawas kepada siswa peserta ujian dan tindakan melawan hukum itu misalnya usaha membocorkan rahasai negara karena teks atau naskah ujian nasional adalah rahasia negara yang tergolong sangat rahasia.

Dengan adanya UN yang penuh kontroversial ini, banyak perbedaan pendapat  yang keluar dari para pengamat, beberapa saat yang lalu aktivis pendidikan edicational forum memberi pernyataan agar UN harus segera dihilangkan. Dari  sekian aktivis dan ahli pendidikan yang angkat bicara ada beberapa alasan yang seharusnya membuat pemerintah dalam hal ini kemendikbud harus menimbang ulang sistem evaluasi tersebut(UN) bila perlu dihentikan. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.


Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.


Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan terus meningkat setiap tahun namun tidak selalu diimbangi dengan kematangan persiapan. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan, di sekolah dan di rumah. Kenyataannya peserta UN tertekan menjelang ujian nasional berlangsung.


Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Biaya UN mencapai 600 miliar tahun ini. Belum ditambah dana dari APBD dan partisipasi peserta (masyarakat) jika ada. Namun Sistem pengelolaan selama ini masih membuka ruang bagi penyelewengan/ korupsi dana UN. Semisalnya saja dana Try Out UN di provinsi NTT yang tidak jelas dan hingga kini masih dipersoalkan.
 

Sedangkan menurut H. JEMMA, S.Pd., M.Pd. (Mahasiswa Program Doktor UIN Alauddin Makassar, Dosen Pendidikan & Keguruan Universitas 45 Makassar). Berpendapat bahwa ia tidak menempatkan diri pada posisi pro atau kontra. ia tidak setuju atas pendapat yang menyatakan UN sebaiknya dihapus sebagaimana tidak setujunya jika UN dilanjutkan dengan sistem seperti yang sekarang ini. H. JEMMA, S.Pd., M.Pd.  berusaha merangkul kedua pendapat itu yakni UN tidak perlu dihapus dan tetap dilanjutkan tetapi dengan memperbaiki atau merevisi sistemnya. Sistem yang paling krusial dan mendesak untuk diperbaiki atau direvisi adalah sistem kelulusan. Alternatif pemecacahannya adalah dengan mengganti sistem lulus menjadi sistem tamat.
 

Istilah lulus dan tamat sebenarnya bukanlah istilah baru. Istilah ini amat sederhana, mudah dipahami oleh semua kalangan dan tidak memiliki konsep teoretis yang rumit. Istilah lulus  adalah konsep yang melekat pada pencapaian standar minimal hasil yang diperoleh oleh siswa setelah mengikuti serangkaian ujian akhir di sekolah yaitu Ujian Sekolah (US) dan Ujian Nasional (UN). Sedangkan istilah tamat adalah kualifikasi predikat yang melekat pada peserta didik setelah mengikuti serangkaian sistem pembelajaran dan evaluasi dari tahap kelas awal sampai kelas akhir pada tingkat satuan pendidikan tertentu.
 

Penulis sendiri di sini lebih setuju dengan pendapat H. JEMMA, S.Pd., M.Pd.  yakni  UN tidak perlu dihapus dan tetap dilanjutkan tetapi dengan memperbaiki atau merevisi sistemnya. [i]










[i]. Tulisan ini adalah sebuah gabungan dua pendapat yang di tulis oleh Oleh Yos Man Umbu Deta, Mahasiswa FKIP Undana di http://edukasi.kompasiana.com dan H. JEMMA, S.Pd., M.Pd. Mahasiswa Program Doktor UIN Alauddin Makassar, Dosen Pendidikan & Keguruan Universitas 45 Makassar. Di situs: http://cakrawalaberita.com


Share
Posted in: Posted on: Kamis, 07 Juni 2012

0 komentar:

Labels

Profil

Foto saya
Alumni PP. Al-Khoirot Karangsuko Pagelaran Malang, dan Sekarang menjadi Mahasiswa Ibnu Sina Kepanjen, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Copyright © 2014 MUKARROM. Alumni PP. Al-Khoirot Malang | Konsultasi Syariah Islam FB-Q Facebook
Blog Q. Proudly Powered by Blogger.