Rasa Saungkan sering membuat seseorang terhalang untuk berbuat baik. Baik sungkan dalam pengertian malu berbuat baik, maupun takut orang lain tidak berkenan dengan perbuatan baik yang dilakukan.
Dari permulaan, menuntut ilmu yang merupakan gerbang seluruh kebaikan kerap terganjal karena sungkan. Mungkin karena umur telah lanjut, malu memulai dari awal, harus berguru kepada yang lebih muda, tak enak bergabung dengan majlis-majlis ta’lim dan berbagai alasan lain yang intinya adalah sungkan. Padahal, menuntut ilmu bukanlah cela, karenanya tak ada alasan untuk malu, itu jauh lebih baik dan lebih ringan akibatnya daripada seumur hidup menelan pahitnya kebodohan.
Adalah suatu keutamaan jika seseorang tidak terhalangi rasa malu atau sungkan dalam menuntut ilmu. Wanita anshar dipuji oleh Ummul Mukminin Aisyah dikarenakan mempunyai kelebihan ini, wanita Anshar tidak pernah malu dan sungkan untuk menuntut ilmu. Ummul Mukminin Aisyah pernah mengatakanmengenai Wanita anshar yang artinya: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu agama.” (HR. Muslim)
Rasa sungkan juga mengahalangi seseorang untuk tampil sesuai dengan tuntutan syariat. Apa kata orang nanti? Peretanyaan ini seakan menjadi tembok besar yang menghalangi seseorang untuk ‘hijrah’ dari maksiat menuju ketaatan.
Sekedar sampel, seseorang muslimah merasa sungkan berjilbab di sekolah atau di kampungnya karena belum ada yang mendahului, tidak enak kalau harus melakukan seorang diri. Untuk menghidupkan sunnah, pun seringkali terganjal oleh rasa sungkan kepada orang lain. Mungkin karena belum ada yang menjalankan, atau khawatir dianggap aneh, takut dikatakan pamer atau riya’ dan lain sebagainya.
Sungkan, Sebab Banyaknya Pelanggaran
Rasa Sungkan bukan saja menghalangi banyak kebaikan, tapi juga menjadi sebab terjadinya banyak pelanggaran. Banyak oranag yang secara ilmu sudah paham haramnya sesuatu, tapi belum bisa meninggalkannya karena sungkan, takut menyinggung perasaan orang, atau khawatir penghargaan orang lain kepadanya berkurang. Menghadiri pesta pesta yang menggelar kemungkaran, barpatisipasi dalam tradisi kesyirikan, dan lain-lain yang sering kita jumpai. Sebagian orang melakukannya bukan karena tidak tahu, tapi karena sungkan untuk mengatakan “tidak!” terhadap kemaksiatan. Beralasan ‘menjaga perasaan orang’ tidaklah tepat dalam konteks ini. Karena resiko yang dihadapi terlalu besar dari sekedar menjaga perasaan orang. Adalah suatu perbuatan fatal, jika seseorang mencari ridha manusia dengan cara mengundang murka Allah. Syaikh Muhammad bin Abd. Wahhab menyebutkan dalam kitab tauhid, sebuah hadidts yang diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya:
“Barang siapa yang berupaya meraih ridha Allah hingga membuat manusia marah, maka Allah akan meridhainya, dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa yang ingin mendapatkan ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kpadanya, dan akan membuat orang-orang marah kepanya.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya dengan sanad hasan)
Begitu banyak kebaikan yang hilang karena sungkan, demikian banyak pua pelanggaran dilakukan karena sungkan. Karenanya, sudah saatnya kita enyahkan rasa sungkan alam melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Tidak semua rasa sungkan Buruk
Rasa sungkan tidak semuanya buruk. Dalam taraf dan situasi tertentu, perasaan sungkan justru merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada. Terutama, rasa sungkan yang berasal dari rasa malu. Ada sisi-sisi baik dari perasaan semacam ini, khususnya dalam menjaga hubungan sosial antar sesama. Rasa sungkan akan menghadirkan empati dan sikap tenggang rasa dalam diri. Seperti yang kita tahu, empati adalah perasaan ingin melakukan kebaikan pada orang lain, sebagaimana kita ingin diperlakukan seperti itu, dan menjaga diri dari melakukan sesuatu yang kita tidak ingin hal itu dilakukan atas kita. Rasa sungkan juga akan membuat seseorang lebih berhati-hati dan menuntunnya untuk bersikap sopan santun dan tidak seenaknya sendiri. Tidak acuh dan minim kepedulian. Tentu saja dalam batas dan ukuran yang proporsional. Karennya rasa sungkan untuk tidak merokok dalam sebuah acara yang tidak semestinya merokok, seperti saat pengajian adalah rasa sungkan yang baik. Meski resikonya mulut harus kecut dan tidak enak. Juga rasa sungkan untuk bolak balik meminjam barang-barang milik tetangga atau terus terusan bikin repot orang lain, sungkan untuk ikut campur dalam konflik rumah tangga orang lain dan lain sebagainya adalah beberapa contoh rasa sungkan yang baik. Entah bagaimana jadinya jika rasa sungkan dalam hal semacam itu menipis atau bahkan sirna.
Kesimpulannya, tidak semua rasa ungkan itu buruk dan harus dikesampingkan sama sekali. Sungkan yang buruk adalah yang menghalangi diri kita untuk melakukan kebaikan dan melaksanakan perintah syariat. Dalam hal ini, kita harus mengasah kecerdasan spiritual. Kecerdasan yang bisa menimbang masalah dengan lebih mengedepankan maslahat syari’iyyah. Dengannya, kita akan merasa lebih sungkan kepada sang pemilik jagat raya daripada manusia, jika tidak melaksanakan perintah-Nya.
Sedangkan yang baik adalah perasaan ingin menjaga hati dan hubungan dengan orang lain karena empati. Dalam hal ini kecerdasan emosionallah yang harus kita asah. Yaitu kecerdasan yang bisa menimbang berbagai perasaan dan menentukan sikap yang tepat dan bijak. Yang kita perlukan hanya belajar dan belajar, dan tidak sungkan untuk mengakui dan mengambil ibrah dari kesalahan.
Rangkuman dari: ar-risalah No.95/vol.VIII/11 Jumadal Ula – Jumadal Akhir 1430 H / Mei 2009
0 komentar: